Jumat, 31 Januari 2014
Saudaraku, Yang Aku Cintai Karena Allah...
Ijinkanlah aku menyampaikan...
Kuharap, akan sampai ke hatimu sebelum ia sempat menelusup jauh dari indra penglihatanmu karena membaca ini…
Sesungguhnya segala pujian hanya layak ditujukan kepada Dzat yang keindahan-Nya tak terwakili oleh syairnya para Penyair,
Kesucian-Nya tak dapat dibandingkan dengan tetesan lembutnya Embun di dedaunan saat pagi kembali menyapa Dunia,
Dan lautan Atlantik tampaknya terlalu dangkal untuk disetarakan dengan cinta-Nya kepada makhluk-Nya yang taat pada aturan-Nya.
Bahkan, Semesta pun terlalu sempit untuk menghamparkan kasih sayang-Nya pada hamba-Nya…
Tak bosan pula, lisan ini dan para hamba-Nya di Langit dan di Bumi mengirim salam serta shalawat untuk sosok yang tak pernah lelah menyiarkan risalah Islam, sebagai manifestasi cintanya kepada umat ini.
Sosok yang bahkan di akhir hayatnya masih sempat berkata lirih mengingat-ingat kembali umatnya.
Sosok manusia paling agung yang pernah ada, pribadi yang semoga tak pernah luput hati ini untuk selalu mencintainya, dialah Rasulullah Muhammad Salallahu`alaihu wasallam..
Saudaraku, yang Aku Cintai Karena Allah,
Dahulu, pada masa awal Rasulullah berdakwah, setiap perintah dan larangan yang datang selalu direspon umat di masa itu dengan menggunakan instrumen keimanan.
Tidak peduli apakah ia (perintah itu), menguntungkan atau merugikan, mudah ataupun sulit bagi dirinya. Semangat keimanan mereka melahirkan ruh-ruh keta’atan, "Sami’na wa atho’na" (Kami dengar dan Kami taat).
Termasuk di dalamnya ketika muncul kasus pengharaman Babi, Alkohol, RIBA' secara kontekstual dalam Al-Qur’an.
Para sahabat tidak lantas sibuk menanyakan dan bertanya-tanya. Kenapa? Apa bahayanya?
Buah keimanan mereka adalah munculnya khudznudzon mereka kepada Allah.
Yakin bahwa di dalam larangan itu pasti ada kebaikan.
Maka kita sebagai seorang hamba-Nya, kita harus mendahulukan substansi “sami’na wa’atho’na” dan bukan hanya “sami’na (Kami Dengar), sebentar-sebentar ya, mau saya pikir-pikir dulu mau tho’at atau tidak ya?”
(eh, kita -maaf- maksudnya saya kadang begitu lho saudaraku)
Saudaraku, Keimanan itu memang membutuhkan proses untuk menjadikan diri ini Bertauhid yang benar...
Sebagaimana keimanan nabi Ibrahim, penghulu tauhid. Ingat Kisah Nabi Ibrahim, tidak?
Ketika Beliau mengira Bintang, Bulan, dan matahari sebagai Tuhan? (cerita lengkapnya, tanya sama Murobbi masing-masing ya..)
Itulah yang saya sebut sebuah proses Saudaraku, Nabi Ibrahim selalu menuju kebenaran yang Hakiki untuk bertemu dengan Tuhan yang Asli, yaitu ALLAH.
inilah yang perlu dicatat, seandainya Saudaraku anggap ini memang penting..
Dan setelah beriman, setiap resiko keimanan itu tidak lagi ditimbang-timbang. Tidak lagi kita ikuti ia (keyakinan) dengan persangkaaan-persangkaan. Saya dengar dan saya ta’at dan bukan kemudian menantikan penjelasan efek-efeknya. Baik mudharat (efek negatif) maupun maslahatnya (efek positif). Yang jelas Allah mengganjar syurga bagi hamba-hambanya yang mena’atinya. Ini dicantumkan Allah dalam firmannya,
Iblislah, Penghulu Gerakan Anti-Sami’na wa’atho’na
Malaikat saat dititahkan untuk bersujud pada nabi Adam Alaihissalam, tanpa banyak pertanyan dan pemikiran segera bersujud. Malaikat mendengarkan dan mereka taati. Sedangkan iblis laknatullah, penghulunya para pembangkang. Membantah perintah itu. Dan ia malah memberikan argumen-argumen. Seakan ia merasa lebih tahu dibandingkan Allah Ta'ala. Menganggap perintah Allah itu perlu untuk diinterupsi dan kemudian bisa direvisi. Menganggap Allah bisa saja salah bertindak ataupun memerintahkan. Ia merasa materi pembentuk fisiknya lebih mulia. Dan ia terusir. Bukan saja dari syurga. Tapi terusir dari sisi Allah. Dengan akhir pedih, penuh penderitaan.
Kenapa Sami’na Wa atho’na?
Dulu, Kondisi penduduk Mekkah dan Madinah masih ummy (buta huruf). Sehingga perantaran dakwah melalui media tulisan menjadi sangat tidak efektif. Jadilah setiap perintah dan larangan disampaikan langsung dari mulut ke telinga. dan mereka berkata, "Sami’na wa atho’na". Setiap perintah itu mesti didengarkan dan ditaati. Dan kemudian nilai-nilai mendengar itu ditarik hingga ke masa sekarang, dimana kita tidak bisa lagi mendengar langsung perintah dan larangan dari lisan Rasulullah. Sehingga jadilah kita, meskipun kemudian mendengar perintah dan larangan itu bukan dari Rasulullah saw atau malah dari sumber bacaan. Tetap saja secara substansi saat itu kita adalah mendengar. setuju, Saudaraku?
Sami’na wa’atho’na hanya dilakukan pada tahapan kontekstual sebuah perintah dan itu yang bersumber dari Allah dan Rasululloh, Muhammad Salallahu`alaihu wasallam.Sekarang ini, banyak orang Islam sudah menggunakan pikirannya sendiri untuk memilih dari berbagai ragam hasil kesimpulan ulama-ulama. Tidak apa-apa menurutku, asal Tentunya dengan tidak lari dari tema sami’na wa’atho’na itu sendiri.
Janganlah berpikir bebas terhadap Al-Qur'an tanpa Pemahaman yang baik, karena jika kita percaya kepada pikiran kita apa bedanya kita dengan si Atheis?
dan apabila kita terlalu percaya pada diri kita, ilmu kita, apa bedanya kita dengan si Takabur?
percayalah HANYA kepada Allah, berbaik sangka lah terhadap perintah-Nya dan larangan-Nya.
karena apa Saudaraku?
Kalau itu perintah Al-Qur'an, berjilbab misalnya, atau dilarang minum minuman beralkohol, ya memang itu yang harus kita taati. harus sami’na wa’atho’na ya..!
Jangan lantas kita menyalahkan Al-Qur'an, seperti kalau Al-Qur'an salah, tidak mengikuti perkembangan jaman, jadul..dsb,
karena jika itu dari Al-Qur'an, otak kitalah yang belum sampai, bukan Al-Qur'annya yang gak Gaul. atau mungkin Nafsu kita yang menyebabkan kita sulit menerima perintah Allah yang tercantum dalam Al-Qur'an.
Sekian, semoga dapat diterima dengan baik.
Saya menyadari dengan kemiskinan ilmu agama yang saya punyai mungkin membuat ragu sebagian orang untuk bisa menerima apa yang saya sampaikan,
Namun, inilah jalan dakwah saya...sangat menerima kritik dan saran, apalagi bimbingan dari Guru-Guru semua..
(Setulus hati tulisan ini boleh disebarluaskan tanpa ada nama penulis catatan ini. semoga menjadi amal jariyah untuk saudaraku yang mau berbagi)
Ijinkanlah aku menyampaikan...
Kuharap, akan sampai ke hatimu sebelum ia sempat menelusup jauh dari indra penglihatanmu karena membaca ini…
Sesungguhnya segala pujian hanya layak ditujukan kepada Dzat yang keindahan-Nya tak terwakili oleh syairnya para Penyair,
Kesucian-Nya tak dapat dibandingkan dengan tetesan lembutnya Embun di dedaunan saat pagi kembali menyapa Dunia,
Dan lautan Atlantik tampaknya terlalu dangkal untuk disetarakan dengan cinta-Nya kepada makhluk-Nya yang taat pada aturan-Nya.
Bahkan, Semesta pun terlalu sempit untuk menghamparkan kasih sayang-Nya pada hamba-Nya…
Tak bosan pula, lisan ini dan para hamba-Nya di Langit dan di Bumi mengirim salam serta shalawat untuk sosok yang tak pernah lelah menyiarkan risalah Islam, sebagai manifestasi cintanya kepada umat ini.
Sosok yang bahkan di akhir hayatnya masih sempat berkata lirih mengingat-ingat kembali umatnya.
Sosok manusia paling agung yang pernah ada, pribadi yang semoga tak pernah luput hati ini untuk selalu mencintainya, dialah Rasulullah Muhammad Salallahu`alaihu wasallam..
Saudaraku, yang Aku Cintai Karena Allah,
Dahulu, pada masa awal Rasulullah berdakwah, setiap perintah dan larangan yang datang selalu direspon umat di masa itu dengan menggunakan instrumen keimanan.
Tidak peduli apakah ia (perintah itu), menguntungkan atau merugikan, mudah ataupun sulit bagi dirinya. Semangat keimanan mereka melahirkan ruh-ruh keta’atan, "Sami’na wa atho’na" (Kami dengar dan Kami taat).
Termasuk di dalamnya ketika muncul kasus pengharaman Babi, Alkohol, RIBA' secara kontekstual dalam Al-Qur’an.
Para sahabat tidak lantas sibuk menanyakan dan bertanya-tanya. Kenapa? Apa bahayanya?
Buah keimanan mereka adalah munculnya khudznudzon mereka kepada Allah.
Yakin bahwa di dalam larangan itu pasti ada kebaikan.
Maka kita sebagai seorang hamba-Nya, kita harus mendahulukan substansi “sami’na wa’atho’na” dan bukan hanya “sami’na (Kami Dengar), sebentar-sebentar ya, mau saya pikir-pikir dulu mau tho’at atau tidak ya?”
(eh, kita -maaf- maksudnya saya kadang begitu lho saudaraku)
Saudaraku, Keimanan itu memang membutuhkan proses untuk menjadikan diri ini Bertauhid yang benar...
Sebagaimana keimanan nabi Ibrahim, penghulu tauhid. Ingat Kisah Nabi Ibrahim, tidak?
Ketika Beliau mengira Bintang, Bulan, dan matahari sebagai Tuhan? (cerita lengkapnya, tanya sama Murobbi masing-masing ya..)
Itulah yang saya sebut sebuah proses Saudaraku, Nabi Ibrahim selalu menuju kebenaran yang Hakiki untuk bertemu dengan Tuhan yang Asli, yaitu ALLAH.
inilah yang perlu dicatat, seandainya Saudaraku anggap ini memang penting..
Dan setelah beriman, setiap resiko keimanan itu tidak lagi ditimbang-timbang. Tidak lagi kita ikuti ia (keyakinan) dengan persangkaaan-persangkaan. Saya dengar dan saya ta’at dan bukan kemudian menantikan penjelasan efek-efeknya. Baik mudharat (efek negatif) maupun maslahatnya (efek positif). Yang jelas Allah mengganjar syurga bagi hamba-hambanya yang mena’atinya. Ini dicantumkan Allah dalam firmannya,
Q.S. An-Nisa’: 13 "(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar".
Iblislah, Penghulu Gerakan Anti-Sami’na wa’atho’na
Malaikat saat dititahkan untuk bersujud pada nabi Adam Alaihissalam, tanpa banyak pertanyan dan pemikiran segera bersujud. Malaikat mendengarkan dan mereka taati. Sedangkan iblis laknatullah, penghulunya para pembangkang. Membantah perintah itu. Dan ia malah memberikan argumen-argumen. Seakan ia merasa lebih tahu dibandingkan Allah Ta'ala. Menganggap perintah Allah itu perlu untuk diinterupsi dan kemudian bisa direvisi. Menganggap Allah bisa saja salah bertindak ataupun memerintahkan. Ia merasa materi pembentuk fisiknya lebih mulia. Dan ia terusir. Bukan saja dari syurga. Tapi terusir dari sisi Allah. Dengan akhir pedih, penuh penderitaan.
Kenapa Sami’na Wa atho’na?
Dulu, Kondisi penduduk Mekkah dan Madinah masih ummy (buta huruf). Sehingga perantaran dakwah melalui media tulisan menjadi sangat tidak efektif. Jadilah setiap perintah dan larangan disampaikan langsung dari mulut ke telinga. dan mereka berkata, "Sami’na wa atho’na". Setiap perintah itu mesti didengarkan dan ditaati. Dan kemudian nilai-nilai mendengar itu ditarik hingga ke masa sekarang, dimana kita tidak bisa lagi mendengar langsung perintah dan larangan dari lisan Rasulullah. Sehingga jadilah kita, meskipun kemudian mendengar perintah dan larangan itu bukan dari Rasulullah saw atau malah dari sumber bacaan. Tetap saja secara substansi saat itu kita adalah mendengar. setuju, Saudaraku?
Sami’na wa’atho’na hanya dilakukan pada tahapan kontekstual sebuah perintah dan itu yang bersumber dari Allah dan Rasululloh, Muhammad Salallahu`alaihu wasallam.Sekarang ini, banyak orang Islam sudah menggunakan pikirannya sendiri untuk memilih dari berbagai ragam hasil kesimpulan ulama-ulama. Tidak apa-apa menurutku, asal Tentunya dengan tidak lari dari tema sami’na wa’atho’na itu sendiri.
Janganlah berpikir bebas terhadap Al-Qur'an tanpa Pemahaman yang baik, karena jika kita percaya kepada pikiran kita apa bedanya kita dengan si Atheis?
dan apabila kita terlalu percaya pada diri kita, ilmu kita, apa bedanya kita dengan si Takabur?
percayalah HANYA kepada Allah, berbaik sangka lah terhadap perintah-Nya dan larangan-Nya.
karena apa Saudaraku?
Kalau itu perintah Al-Qur'an, berjilbab misalnya, atau dilarang minum minuman beralkohol, ya memang itu yang harus kita taati. harus sami’na wa’atho’na ya..!
Jangan lantas kita menyalahkan Al-Qur'an, seperti kalau Al-Qur'an salah, tidak mengikuti perkembangan jaman, jadul..dsb,
karena jika itu dari Al-Qur'an, otak kitalah yang belum sampai, bukan Al-Qur'annya yang gak Gaul. atau mungkin Nafsu kita yang menyebabkan kita sulit menerima perintah Allah yang tercantum dalam Al-Qur'an.
Sekian, semoga dapat diterima dengan baik.
Saya menyadari dengan kemiskinan ilmu agama yang saya punyai mungkin membuat ragu sebagian orang untuk bisa menerima apa yang saya sampaikan,
Namun, inilah jalan dakwah saya...sangat menerima kritik dan saran, apalagi bimbingan dari Guru-Guru semua..
(Setulus hati tulisan ini boleh disebarluaskan tanpa ada nama penulis catatan ini. semoga menjadi amal jariyah untuk saudaraku yang mau berbagi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Anda Pengunjung Ke
TIME
Popular Posts
Categories
- 7 sunnah rasul
- Akhlak Terpuji
- Al-Qur'an
- Keajaiban Islam
- Ketika Ada Adzan
- Keutamaan Shalat Sunnah
- Kumpulan Sunnah-Sunnah
- Lailatur Qodar
- Pahala Sunnah disaat Wudhu
- Rasulullah
- Romantisnya Rosulullah
- Sami’na wa Atho’na
- Seputar Islam
- Sholat Sunnah
- Sholat tahajud
- Sunah Rasul
- Tips ber-Da'wah
- Tips Menjadi Mentor
0 comments:
Posting Komentar
Apa kata Anda?